Tumbuhan obat atau medicinal plants merupakan tumbuhan/tanaman yang tumbuh di dalam hutan baik secara liar maupun dibudidayakan dan memiliki khasiat obat. Tumbuhan obat juga biasa dikenal sebagai herbal, meskipun penyebutan ini cenderung salah kaprah karena herbal lebih tepat disandingkan dengan jamu. Sebagai negara yang terletak di persilangan benua dan samudera, Indonesia juga memiliki kandungan sumberdaya herbal yang luar biasa. Sebagian besar belum terungkap karena masih digunakan sebagai sarana untuk penyembuhan diri sendiri atau bersifat kuratif. Hanya sedikit orang saja yang telah mengembangkan herbal sebagai komoditas pengobatan karena herbal di alam selalu dalam kondisi metabolit sekunder, artinya membutuhkan komponen herbal lain agar memiliki khasiat yang memadai. Ini berbeda dengan pengobatan berbasis farmasi yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga obat langsung menuju ke tempat yang sakit dan menghentikan gejala yang sakit atau dikenal bersifat metabolit primer.
Salah satu lokasi sumber bahan baku herbal di Indonesia adalah Taman Nasional Meru Betiri yang disinyalir memiliki kandungan sumberdaya tumbuhan obat terbesar di Indonesia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan juga menunjukan bahwa Taman Nasional Meru Betiri yang terletak di Jawa Timur merupakan “kantong” terbesar untuk bahan baku tersebut. Selain Meru Betiri, ternyata jalur bahan baku tumbuhan/tanaman obat yang digunakan untuk produksi herbal banyak yang berasal dari Jawa Timur seperti jahe, kencur dan temulawak. Bahan baku ini kemudian didistribusikan ke pabrik-pabrik pengolahan herbal di Sukohardjo Jawa Tengah. Tercatat perusahaan-perusahaan herbal di lokasi tersebut baik besar, kecil dan menengah menggunakan bahan-bahan baku tersebut.
Kualitas dan Kuantitas Bahan Baku Herbal
Secara kualitas, bahan baku herbal terbaik tetap berasal dari hutan karena umumnya merupakan hasil fotosintesis yang bercampur dengan kondisi edafis spesifik yang menyebabkan kandungan biokimia herbal di dalamnya berkualitas baik. Tetapi kualitas ini akan segera menurun ketika pemanenan di hutan dilakukan secara sembarangan yang menyebabkan bahan baku tersebut (akar, kulit, daun dan buah) terkenan kontaminan seperti tanah atau serasah yang terdapat di hutan. Bakteri, jamur, udara dan jasad renik lainnya akan mempercepat terjadinya pembusukan bahan-bahan tersebut sehingga kualitasnya menurun dan mempengaruhi fungsi khasiat yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, pemanenan bahan baku herbal tersebut haruslah pula mempertimbangkan metodologi yang tepat untuk memanennya (good harvesting products). Jarak tempuh dari lokasi pemanenan ke tempat pengumpulan juga mempengaruhi menurunnya kualitas bahan baku herbal dan berdampak murahnya harga bahan baku tersebut di tingkat petani.
Untuk kuantitas, jumlah bahan baku herbal di dalam hutan juga melimpah. Hal ini bisa dijumpai dengan melimpahnya buah-buah yang jatuh di serasah hutan. Tetapi kuantitas tersebut tidak selalu menunjukan nilai yang positif manakala kandungan bahan baku tumbuhan obat ternyata dipengaruhi oleh faktor edafis yang lain serta local spesifik sehingga ketika bahan herbal tersebut diekstraksi dari hutan ternyata tidak seragam sehingga menyulitkan dalam pengelolaannya. Dengan demikian, kualitas dan kuantitas bahan baku herbal yang tersedia di hutan-hutan Indonesia tidak serta merta dapat dimanfaatkan dengan mudah apabila faktor teknologi dan pengetahuan yang menempel padanya tidak digunakan dengan baik. Pembudidayaan jenis-jenis bahan baku herbal tersebut di luar tempat tumbuhnya menjadi jalan tengah agar pengelolaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan secara optimal.
Domestikasi Budidaya
Teknik domestikasi merupakan suatu cara yang telah lama dilakukan oleh manusia untuk menjinakkan hewan maupun tumbuhan yang akan dimanfaatkan bagi kebutuhan manusia seperti rusa timor, ayam hutan, banteng, tumbuhan obat dan lain sebagainya. Salah satu tumbuhan herbal yang telah didomestikasi adalah cabe jamu dan kemukus, jahe, kemiri, pakem dan lain sebagainya. Teknik ini memudahkan manusia untuk memanfaatkan bahan baku herbal bagi kepentingan produksi dan akan baik apabila dikembangkan tidak jauh dari lokasi tempat tumbuhnya tetapi di luar kawasan hutan. Maksudnya agar akses manusia pengelola (petani dan pengusaha) tidak berbenturan dengan aturan yang melindungi kawasan hutan untuk tujuan tertentu. Salah satu cara yang bisa dibuat adalah melakukan kerjasama dengan pihak taman nasional untuk memanfaatkan kawasan/zona pemanfaatan untuk tujuan tersebut. Biasanya di lokasi itu akses jalan sudah tersedia dan dekat dengan kawasan pedesaan.
Tulisan mengenai Peran Tumbuhan Obat bagi Masyarakat ini merupakan ekstraksi dari disertasi yang dibuat oleh penulis dan sudah teruji secara sistematis, meskipun terdapat berbagai kelemahan lain yang perlu ditutupi. Paling tidak dengan menampilkan konsep ini diharapkan mampu memberikan ide bagi pembaca tentang budidaya tumbuhan obat baik pada saat sekarang (pandemi) maupun nanti setelah pandemi selesai. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. (IAN).